Fakir Miskin Orang Yang Berhak Menerima

Fakir Miskin Orang Yang Berhak Menerima

Keturunan Rasulullah SAW

Nabi Muhammad SAW bersabda,

"Pada suatu hari Hasan (cucu Rasulullah) telah mengambil sebuah kurma dari zakat lalu dimasukkan ke mulutnya. Rasulullah berkata (kepada Hasan), 'jijik, jijik, muntahkan kurma itu, sesungguhnya tidak halal bagi kita (Nabi dan keturunannya) mengambil sedekah atau zakat." (HR Muslim)

Selain itu, Abu Hurairah pernah berkata dalam hadits, "Bahwasanya Nabi SAW apabila diberi makanan, beliau menanyakannya. Apabila dijawab hadiah, beliau memakan sebagiannya. Apabila zakat, beliau tidak memakannya." (HR Muslim dan Bukhari)

Orang yang Berfisik Kuat dan Berpenghasilan Cukup

Terkait hal ini, Rasulullah SAW bersabda:

"Sedekah (zakat) tidak halal bagi orang kaya atau orang yang memiliki kemampuan (untuk mencari harta)." (HR Ahmad)

Pembahasan mengenai golongan orang yang termasuk fakir atau miskin ini terkait dengan banyak hal. Di antaranya masalah zakat, fidyah, dan kafarah. Lalu siapa sajakah yang tergolong orang miskin atau fakir?

Definisi miskin telah disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam sebuah hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ليسَ المِسْكِينُ الذي يَطُوفُ علَى النَّاسِ تَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ واللُّقْمَتَانِ، والتَّمْرَةُ والتَّمْرَتَانِ، ولَكِنِ المِسْكِينُ الذي لا يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ، ولَا يُفْطَنُ به، فيُتَصَدَّقُ عليه ولَا يَقُومُ فَيَسْأَلُ النَّاسَ

“Orang miskin bukan hanya yang berkeliling meminta-minta kepada orang lain lalu mereka diberi makanan sesuap atau dua suap, atau sebiji-dua biji kurma. Namun orang miskin adalah orang yang tidak mendapatkan kecukupan untuk menutupi kebutuhannya. Dan ia tidak menampakkan kemiskinannya sehingga orang-orang bersedekah kepadanya, dan ia juga tidak minta-minta kepada orang lain” (HR. Bukhari no. 1479, Muslim no. 1039).

Yang dimaksud oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadis di atas adalah orang miskin yang muta’affif (menjaga kehormatan). Sebagaimana disebutkan dalam riwayat lain,

إنَّما المِسْكِينُ الذي يَتَعَفَّفُ، واقْرَؤُوا إنْ شِئْتُمْ يَعْنِي قَوْلَهُ: {لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إلْحَافًا}

“Sesungguhnya orang miskin adalah yang menjaga kehormatannya. Bacalah firman Allah Ta’ala, [mereka tidak meminta-minta kepada manusia dengan memaksa] (QS. Al-Baqarah: 273)” (HR. Bukhari no. 4539).

ولَكنَّ المسْكينَ المتعفِّفُ وفي زيادةٍ ليسَ لَهُ ما يستغني بِهِ الَّذي لا يسألُ ولا يُعلمُ بحاجتِهِ فيتصدَّقَ عليْهِ

“Orang miskin yang muta’affif (menjaga kehormatan) adalah yang tidak mendapatkan kecukupan untuk menutupi kebutuhannya. Dan ia tidak meminta-minta, tidak menampakkan kemiskinannya sehingga orang-orang bersedekah kepadanya” (HR. Abu Daud no. 1632, didha’ifkan oleh Al-Albani dalam Dha’if Abu Daud).

Namun ‘ala kulli haal, dari hadis ini, para ulama menyimpulkan kaidah umum tentang patokan miskin, yaitu orang yang penghasilannya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.

Disebutkan dalam Mu’jam Al-Wasith,

المِسْكِينُ : من ليس عنده ما يكفي عياله، أَو الفقير

“Miskin adalah orang yang tidak mendapati penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Disebut juga dengan fakir”.

Dalam Mu’jam Musthalahat Fiqhiyyah juga disebutkan,

الذي لا يجد قوته، وقيل: هو الذي لا يملك قوت يومه والفقير من لا يملك قوت سنته، لكن على كل حال حكمهما واحد

“Orang yang tidak bisa memenuhi kebutuhan pokoknya. Sebagian ulama mengatakan: orang yang tidak dapat memenuhui kebutuhan pokoknya untuk sehari. Sedangkan fakir adalah orang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan pokoknya untuk setahun. Namun ‘ala kulli haal, fakir dan miskin dianggap sama dalam hukum”.

Contohnya, orang yang kebutuhan pokoknya sehari adalah 100 ribu rupiah, namun penghasilannya hanya 75 ribu rupiah. Maka orang ini tergolong miskin.

Dan cara mengetahui apakah seseorang itu termasuk miskin atau tidak boleh dengan dua cara:

Pertama, diketahui secara pasti bahwa penghasilan orang tersebut kurang dari kebutuhannya.

Kedua, berdasarkan ghalabatuz zhan (sangkaan kuat) bahwa penghasilan orang tersebut kurang dari kebutuhannya.

Al-‘Allamah Al-Buhuti rahimahullah menjelaskan,

ولا يجوز دفع الزكاة إلا لمن يعلم أنه من أهلها و يظنه من أهلها؛ لأنه لا يبرأ بالدفع إلى من ليس من أهلها، فاحتاج إلى العلم به لتحصل البراءة، والظن يقوم مقام العلم؛ لتعذر أو عسر الوصول إليه

“Dan tidak boleh memberikan zakat kecuali kepada orang yang diketahui pasti bahwa ia termasuk yang berhak menerimanya, atau disangka kuat ia termasuk yang berhak menerimanya. Maka di sini dibutuhkan pengetahuan yang pasti sehingga muzakki bisa dikatakan lepas dari tanggungan zakat. Atau sangkaan kuat yang kadarnya selevel dengan ilmu, jika memang ada uzur dan kesulitan untuk memastikan” (Kasyful Qina’, 2: 339).

Baca Juga:  Piring dan Gelas Emas, Ingat Orang-Orang Miskin di Sekitar Anda

Perbedaan antara fakir dan miskin

Ulama khilaf tentang perbedaan antara fakir dan miskin, dan manakah yang lebih membutuhkan antara keduanya?

Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan,

أن المراد بالفقير: المحتاج المتعفف الذي لا يسأل، والمسكين: المحتاج المتذلل الذي يسأل

“Yang dimaksud fakir adalah orang yang membutuhkan dan ia menjaga kehormatannya dengan tidak minta-minta. Sedangkan miskin adalah orang yang membutuhkan yang menghinakan dirinya dengan minta-minta” (Tafsir Al-Qurthubi, 14: 308).

Demikian juga Al-Khathabi rahimahullah, beliau menjelaskan hadits Abu Hurairah di atas, dengan mengatakan,

في الحديث دليل على أن المسكين – في الظاهر عندهم والمتعارف لديهم- هو السائل الطواف

“Hadis ini menunjukkan bahwa miskin adalah orang yang suka berkeliling minta-minta (berdasarkan apa yang dipahami oleh para salaf)” (Ma’alimus Sunan, 2: 232).

Sebagian ulama mengatakan bahwa fakir itu lebih membutuhkan daripada miskin. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Ini adalah pendapat Asy Syafi’i dan mayoritas ulama hadits dan fikih” (Fathul Bari, 4: 107). Mereka berdalil salah satunya dengan ayat,

أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدتُّ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُم مَّلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا

“Adapun perahu itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera” (QS. Al-Kahf: 79).

Menunjukkan bahwa orang miskin masih memiliki harta yang berharga (semisal perahu) untuk mencari penghidupan.

Pendapat ini juga dikuatkan oleh Abu Hanifah. Di antara dalilnya, firman Allah ta’ala:

أَوْ مِسْكِيناً ذا مَتْرَبَةٍ

“… atau orang miskin yang fakir” (QS. Al Balad: 16).

Dalam ayat ini Allah sifati kemiskinan dengan matrabah, yaitu kefakiran. Berarti ada orang miskin yang fakir dan ada orang miskin yang tidak fakir. Sehingga fakir lebih parah dari miskin.

Dalam kitab Al-Fiqhul Muyassar (hal. 144) disebutkan, “Fakir adalah orang yang tidak memiliki apa-apa untuk menutupi kebutuhan pokok dirinya dan kebutuhan pokok keluarganya, berupa makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal. Ia tidak mendapati apa-apa. Atau ia mendapat kurang dari 50% kebutuhan pokoknya. Maka orang seperti ini hendaknya diberi zakat untuk mencukupi kebutuhannya selama 1 tahun penuh.

Miskin adalah orang yang mendapati penghasilan yang mencukupi 50% kebutuhan pokoknya atau lebih (namun tidak sampai genap 100%). Seperti orang yang penghasilannya 100 riyal, namun ia butuh 200 riyal. Maka orang seperti ini juga hendaknya diberi zakat untuk mencukupi kebutuhannya selama 1 tahun penuh”.

Ringkasnya, khilaf ulama dalam masalah ini menjadi 3 pendapat:

Pendapat pertama, yang menyatakan bahwa fakir itu lebih parah dan lebih membutuhkan daripada miskin.

Pendapat kedua, yang menyatakan bahwa miskin itu lebih parah dan lebih membutuhkan daripada fakir.

Pendapat ketiga, yang menyatakan bahwa fakir dan miskin itu sama.

Yang rajih, fakir dan miskin itu jika disebutkan bersendirian, maka ia sama kondisinya. Namun jika keduanya disebutkan bergandengan, maka fakir lebih parah dan lebih membutuhkan daripada miskin.

Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Perbedaan antara fakir dan miskin, jika keduanya disebutkan bersamaan, maka fakir lebih membutuhkan daripada miskin. Karena kata ‘fakir’ diambil dari kata al-faqr yang artinya, “tidak ada apa-apa”. Orang Arab biasa berkata, “hadza ardhun faqrun”, maksudnya, “ini tanah yang kosong tidak ada tumbuhan”. Adapun jika disebutkan bersendirian, maka maknanya sama ” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, 3: 206).

Baik fakir maupun miskin, keduanya sama-sama berhak diberi zakat, fidyah, dan juga kafarah. Karena mereka berdua sama secara hukum. Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, mengatakan,

المسكين هو الفقير الذي لا يجد كمال الكفاية، والفقير أشد حاجة منه، وكلاهما من أصناف أهل الزكاة

“Miskin adalah orang fakir yang penghasilannya tidak sampai kadar mencukupi. Dan fakir itu lebih butuh daripada miskin. Namun keduanya termasuk golongan penerima zakat” (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 14: 265).

Baca Juga: Setan Menakut-Nakuti dengan Kemiskinan

Orang yang punya aset harta apakah disebut miskin?

Jika ada orang yang mengaku miskin, namun ia memiliki rumah, atau memiliki smart phone, atau memiliki mobil, dan semisalnya, apakah ia tetap dianggap miskin dan boleh menerima zakat dan fidyah?

Allah Ta’ala menyebutkan perkataan Nabi Khidhir ‘alaihissalam,

أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدتُّ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُم مَّلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا

“Adapun perahu itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera” (QS. Al-Kahf: 79).

Dalam ayat ini disebutkan orang-orang miskin mereka memiliki perahu. Padahal kita tahu bahwa perahu adalah kendaraan yang harganya tidak murah. Namun, mereka gunakan perahu ini untuk mencari penghasilan. Maka status mereka tetap sebagai orang miskin.

Ibnu Qudamah rahimahullah menjelaskan,

وجملة ذلك أنه إذا ملك مالا تتم به كفايته من غير الأثمان، فان كان مما لا تجب فيه الزكاة كالعقار ونحوه لم يكن ذلك مانعا من أخذها. نص عليه أحمد فقال في رواية محمد بن الحكم: إذا كان له عقار يستغله أو ضيعة تساوي عشرة آلاف أو أقل أو أكثر لا تقيمه يأخذ من الزكاة، وهذا قول الثوري والنخعي والشافعي وأصحاب الرأي

“Kesimpulannya, jika ia memiliki harta yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya dan bukan berupa uang, jika harta tersebut termasuk harta yang tidak wajib dizakati, seperti al ‘aqar (aset pasif) atau semisalnya, maka ini tidak menghalangi dia untuk menerima zakat. Pendapat ini ditegaskan oleh Imam Ahmad. Dalam riwayat dari Muhammad bin Al-Hakam, Imam Ahmad rahimahullah berkata,

“Jika ‘aqar itu terus ia manfaatkan atau ia memiliki tanah yang disewakan seharga 10.000 riyal atau kurang dari itu atau lebih dari itu, maka ia boleh menerima zakat”. Ini juga pendapat Ats-Tsauri, An-Nakha’i, Asy-Syafi’i dan Ash-habur Ra’yi (Hanafiyah)” (Asy-Syarhul Kabir, 2: 687).

Dari penjelasan beliau, bisa kita simpulkan beberapa poin:

Pertama, jika orang miskin memiliki aset, dan aset tersebut dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, dan penghasilannya tidak bisa memenuhi kebutuhan pokoknya, maka ia tetap dikatakan orang miskin dan boleh menerima zakat. Seperti orang yang memiliki rumah dan tanah, namun rumah dan tanah tersebut ia gunakan untuk tempat tinggalnya. Maka ia boleh menerima zakat.

Syekh Abdul Aziz Bin Baz rahimahullah juga pernah ditanya, “Apakah boleh saya memberi zakat mal kepada seorang yang sudah menikah, ia memiliki anak perempuan yang masih kecil, dan ia memiliki mobil taksi. Mobil taksi tersebut ia gunakan untuk mencari penghidupan rata-rata sebesar 700 junaih. Dan terkadang di bulan yang lain ia tidak gunakan mobil tersebut karena ia juga bekerja sebagai pegawai pemerintah dengan gaji 150 junaih”.

Beliau rahimahullah menjawab,

إذا كنت تعلمين أنه فقير، وأنه عرض له حاجة وفقر فلا بأس، وإلا فالذي عنده أسباب تقوم بحاله لا يعطى الزكاة

“Jika Anda tahu pasti dia adalah orang yang fakir, dan ia memang orang yang membutuhkan, maka tidak mengapa memberi zakat kepadanya. Jika tidak demikian, dan orang tersebut punya sebab-sebab lain untuk memenuhi kebutuhannya, maka ia tidak diberi zakat” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, 15: 326).

Kedua, jika orang miskin memiliki aset yang sifatnya sekunder atau tersier, bukan untuk kebutuhan primernya, maka ia tidak dikatakan miskin dan tidak boleh menerima zakat. Seperti orang yang memiliki mobil namun bukan untuk mencari penghasilan, orang yang memiliki rumah lain selain rumah tinggalnya, orang yang memiliki tanah selain yang ia tinggali, dan semisalnya.

Syekh Abdul Aziz Bin Baz rahimahullah ditanya tentang orang yang punya banyak hutang, namun ia baru membeli rumah baru, apakah ia boleh diberi zakat sebagai gharim (orang yang berhutang)? Beliau menjawab,

إذا كان اشترى البيت الجديد للتجارة أو لمزيد الدنيا وعنده بيت يكفيه فلا يستحق الزكاة، بل يبيع بيته الجديد ويوفي ما عليه من الدين، أو يلتمس ذلك من جهات أخرى؛ لأنه ليس فقيراً

“Jika orang tersebut membeli rumah yang baru untuk usaha atau untuk menambah perbendaharaan dunia dia, sedangkan ia sudah memiliki rumah lain yang mencukupinya (untuk tempat tinggal), maka ia tidak berhak menerima zakat. Bahkan seharusnya ia menjual rumah barunya tersebut dan melunasi hutangnya. Atau mencari uang dengan cara lainnya. Karena ia bukan orang fakir” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, 15: 330).

Ketiga, jika orang miskin memiliki aset yang wajib dizakati, seperti emas dan perak, barang dagangan yang nilainya besar, dan semisalnya, maka ia tidak dikatakan miskin dan tidak boleh menerima zakat.

Maka jelaslah bahwa orang mengaku miskin, namun ia memiliki aset harta itu tidak bisa dipukul rata statusnya. Ada yang tetap berhak menerima zakat dan ada yang tidak berhak menerima zakat.

Baca Juga:  10 Sebab Senantiasa Merasa Miskin Dan Kurang Harta

Jika yang diberi zakat ternyata orang yang berkecukupan

Ketika seseorang sudah membayarkan zakatnya kepada orang yang berhak menerimanya, setelah berupaya memastikan bahwa orang tersebut adalah orang yang layak menerima zakat, kemudian jika setelah itu baru diketahui ternyata si penerima zakat tersebut adalah orang berada dan bukan orang miskin. Bagaimana status zakatnya?

Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan,

وذهب بعض أهل العلم : إلى أنه إذا دفعها إلى من يظن أنه أهل بعد التحري ، فبان أنه غير أهل فإنها تجزئه ؛ حتى في غير مسألة الغني ؛ أي: عموما ؛ لأنه اتقى الله ما استطاع لقوله تعالى: ( لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ) البقرة/ 286 ، والعبرة في العبادات بما في ظن المكلف بخلاف المعاملات فالعبرة بما في نفس الأمر، ويصعب أن نقول له : إن زكاتك لم تقبل مع أنه اجتهد، والمجتهد إن أخطأ فله أجر، وإن أصاب فله أجران

وهذا القول أقرب إلى الصواب أنه إذا دفع إلى من يظنه أهلا مع الاجتهاد والتحري فتبين أنه غير أهل فزكاته مجزئة

“Sebagian ulama berpendapat bahwa zakat diserahkan kepada orang yang berhak menerimanya, setelah berupaya untuk memastikan ia berhak. Kemudian jika setelah dibayarkan, baru diketahui fakta bahwa ia orang yang tidak berhak menerima zakat, maka zakatnya tetap sah. Dan kaidah ini berlaku juga untuk masalah-masalah lain secara umum. Karena orang yang membayar zakat tadi telah berusaha bertakwa kepada Allah Ta’ala semaksimal kemampuannya. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Bertakwalah kepada Allah semaksimal kemampuan kalian” (QS. Al-Baqarah: 286). Dan yang dianggap dalam ibadah adalah keadaan yang diketahui oleh mukallaf. Berbeda dengan urusan muamalah, yang dianggap adalah fakta senyatanya. Sehingga sulit untuk mengatakan “zakat Anda tidak sah”. Padahal ia telah berijtihad. Dan orang yang berijtihad itu, jika keliru, maka dia mendapatkan satu pahala, dan jika benar, ia mendapatkan dua pahala.

Ini adalah pendapat yang lebih mendekati kebenaran. Yaitu bahwa jika seseorang menyerahkan zakat kepada orang yang ia sangka berhak menerimanya, setelah berupaya untuk memastikan, kemudian ternyata si penerima tidak layak, maka zakatnya tetap sah” (Syarhul Mumthi‘, 6: 264).

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

Penulis: Yulian Purnama

Artikel: Muslim.or.id

Pada hakikatnya, harta yang kita miliki adalah milik Allah SWT. Di dalam harta itu, disebutkan ada hak bagi orang-orang yang membutuhkannya. Islam menyediakan cara bagi orang yang mengeluarkan hartanya di jalan Allah SWT, salah satunya dengan zakat.

Setelah harta yang akan dizakati terkumpul, barulah bisa didistribusikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Orang yang berhak menerima zakat disebut mustahik. Sebagai agama yang sempurna, Islam sampai menetapkan siapa saja mustahik ini agar harta zakat dapat benar-benar bermanfaat.

Para ulama menyebut bahwa Allah SWT memberitahukan deretan mustahik zakat melalui firman-Nya dalam Surat At-Taubah ayat 60:

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَاۤءِ وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْعٰمِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغٰرِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَابْنِ السَّبِيْلِۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ - 60

Latin: Innamaṣ-ṣadaqātu lil-fuqarā'i wal-masākīni wal-'āmilīna 'alaihā wal-mu'allafati qulūbuhum wa fir-riqābi wal-gārimīna wa fī sabīlillāhi wabnis-sabīl(i), farīḍatam minallāh(i), wallāhu 'alīmun ḥakīm(un).

Artinya: "Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para amil zakat, orang-orang yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) para hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan untuk orang-orang yang sedang dalam perjalanan (yang memerlukan pertolongan), sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana."

Berdasarkan ayat tersebut, ada 8 mustahik atau orang yang berhak menerima zakat. Siapa sajakah mereka?

Apakah Orang yang Berhak Menerima Zakat Fitrah dan Zakat Mal Sama?

Ada perbedaan pandangan terkait mustahik zakat fitrah dan mustahik zakat mal. Hal ini dijelaskan dalam buku 125 Masalah Zakat oleh Al-Furqon Hasbi.

Pendapat pertama, mustahik atas zakat fitrah sama dengan mustahik zakat mal. Pendapat ini dinyatakan oleh Imam Hambali dan Ibnu Qudamah, di mana orang yang berhak menerima zakat fitrah adalah 8 golongan yang disebutkan dalam Surah At-Taubah ayat 60. Sehingga mereka juga lah yang boleh diberikan zakat mal.

Kedua, mustahik zakat fitrah berbeda dengan zakat mal. Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim menyatakan bahwa mustahik zakat fitrah adalah orang fakir yang miskin. Yang menjadi dalil landasannya adalah sabda Nabi SAW dari Ibnu Abbas RA:

"Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah sebagai penyuci bagi orang yang puasa dari perbuatan sia-sia dan ucapan kotor, serta untuk memberi makan bagi orang miskin." (HR Abu Dawud, dan Ibnu Majah)

Orang yang Berhak Menerima Zakat

Dikutip dari Tafsir Ibnu Katsir dan buku Rahasia Puasa & Zakat oleh Muhammad Al-Baqir, berikut penjelasan 8 golongan mustahik zakat yang disebutkan dalam Surat At-Taubah ayat 60:

Dijelaskan bahwa kaum fakir didahulukan dalam menerima zakat lantaran mereka lebih membutuhkan daripada golongan lainnya. Fakir adalah orang yang tidak memiliki harta serta tak mampu untuk mencari nafkah hidupnya. Yang tergolong fakir biasanya orang yang tidak memiliki pekerjaan tetap.

Ubaidillah bin Adi bin al-Khiyar meriwayatkan ada dua orang yang memberitahunya bahwa keduanya telah datang kepada Rasulullah SAW untuk meminta bagian zakat. Beliau SAW pun memandangi mereka dengan seksama dan melihat keduanya masih tergolong sebagai orang kuat, lalu bersabda:

"Jika kalian mau, aku akan memberi kalian, akan tetapi zakat tidak diberikan kepada orang kaya dan orang yang masih kuat yang mampu mencari penghasilan." (HR Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa'i)

Berbeda dengan fakir, miskin adalah orang yang tidak punya harta dan tak mampu mencari nafkah tapi dia masih memiliki makanan untuk sehari-hari dan pakaian yang memadai.

Termasuk golongan miskin apabila seseorang memiliki penghasilan, tetapi pendapatannya itu tidak mencukupi kebutuhan hidupnya.

Amil merupakan orang yang mengelola pengumpulan dan pembagian zakat, seperti ketua petugas pengumpulan zakat, sekretaris, bendahara, serta petugas lainnya. Maka mereka ini berhak mendapatkan bagian harta zakat.

Namun, amil tidak boleh termasuk seorang pemimpin negeri tertinggi maupun hakim. Amil juga tidak boleh berasal dari kerabat atau keluarga atau keturunan Nabi SAW.

Sebagaimana dalam riwayat dari Ibnu Sa'id Maliki RA, ia berkata, "Umar RA mengangkat aku selaku petugas pengumpulan zakat. Setelah selesai dan aku serahkan kepadanya zakat yang terkumpul, ia memerintahkan agar aku diberi bagian, kemudian aku berkata, bahwasanya saya mengerjakan itu karena Allah."

Lalu Umar RA menjawab, "Ambillah apa yang telah diberikan kepadamu. Bahwasanya aku pernah menjadi amil zakat pada masa Rasulullah SAW, kemudian beliau memberikan kepadaku upah, maka aku jawab sebagaimana jawabanmu. Maka Beliau SAW berkata kepadaku: 'Apabila kamu diberikan sesuatu tanpa kamu minta maka makanlah (terimalah) dan bersedekahlah." (HR Bukhari, Muslim, dan Ahmad)

Yang dimaksud mualaf, yakni orang yang perlu dihibur hatinya agar masuk Islam dengan mantap, atau orang yang dikhawatirkan memusuhi dan mengganggu kaum muslim, atau orang yang diharapkan memberi bantuan kepada kaum muslim.

Ada tiga macam mualaf;

Yang dimaksud riqab adalah mukatib, yaitu hamba sahaya yang melakukan perjanjian bebas. Harta zakat yang diberikan dimaksudkan untuk membebaskan perbudakan.

Nantinya, harta zakat diberikan langsung kepada para majikan guna memenuhi perjanjian kebebasan bagi para budak yang mereka miliki. Sehingga dana zakat diibaratkan untuk membeli hamba sahaya yang kemudian akan dibebaskan.

Gharim merupakan orang kurang mampu yang berutang untuk keperluan ketaatan kepada Allah SWT atau untuk hal yang mubah. Maka ia berhak mendapatkan bagian dari harta zakat dan boleh diberikan zakat.

Namun jika ia berutang untuk perbuatan maksiat atau zina maka ia tidak boleh memperoleh zakat, kecuali ia telah bertobat.

Tidak Beragama dan Non-Islam

Mereka yang tidak memiliki agama tidak berhak menerima zakat, begitu pun dengan non-muslim. Meski tidak berkecukupan dan umat Islam ingin membantu, hal itu tidak dapat dianggap sebagai zakat melainkan pemberian biasa.

Dalam surah Al Insan ayat 8, Allah SWT berfirman:

وَيُطْعِمُونَ ٱلطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا

Artinya: "Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan,"

Orang-orang yang Tidak Berhak Menerima Zakat

Berikut beberapa golongan yang tidak berhak menerima zakat sebagaimana dikutip dari buku 17 Tuntunan Hidup Muslim karya Wahyono Hadi Parmono dkk.

Golongan Orang yang Berhak Menerima Zakat Fitrah (mustahik)

Siapa saja yang termasuk dalam golongan orang yang berhak menerima zakat? Beberapa diantaranya adalah orang sedang mengalami kesusahan ekonomi dan saat ini berjuang di jalan Allah.

Islam menilai mereka termasuk dalam golongan orang yang berhak menerima zakat karena sedang berjuang untuk menuju pada kebaikan. Zakat merupakan salah satu manifestasi dari semangat untuk saling menolong tersebut.

Menurut Badan Zakat Nasional (BAZNAS), ada delapan golongan orang yang berhak menerima zakat di antaranya:

Kelompok pertama dari golongan orang yang berhak menerima zakat adalah fakir. Kategori yang masuk kelompok fakir adalah orang yang berada di bawah kemiskinan karena tidak mempunyai sumber penghasilan. Salah satu penyebabnya adalah sakit yang membuatnya tidak dapat bekerja dan mendapatkan penghasilan.

Kedua, golongan orang yang berhak menerima zakat adalah orang miskin. Kelompok ini secara ekonomi masih kekurangan namun sudah mempunyai sumber penghasilan akan tetapi hasilnya tidak dapat memenuhi kebutuhan.

Golongan orang yang berhak menerima zakat perlu mendapat pertolongan sehingga lebih bisa berusaha untuk mendapatkan rezeki. Sebagai sesama Muslim bisa membantu dengan banyak cara agar mereka segera keluar dari kemiskinan.

Yang termasuk dalam kelompok hamba sahaya adalah orang yang saat ini hidupnya belum merdeka atau menjadi budak. Zaman dulu golongan orang yang berhak menerima zakat dalam kelompok ini cukup banyak.

Gharim merupakan kelompok orang yang mempunyai hutang dan kesulitan untuk membayarnya. Mereka termasuk dalam golongan orang yang berhak menerima zakat sehingga bisa mengurangi masalahnya.

Solidaritas umat Muslim sangat tinggi untuk saling mendukung. Salah satunya kepada mualaf, yaitu orang yang baru saja memeluk Islam. Tidak sedikit Mualaf yang mengalami kesulitan sehingga masuk sebagai golongan orang yang berhak menerima zakat.

Yang termasuk Fisabilillah adalah orang dimana saat ini sedang berjuang di jalan Allah. Banyaknya rintangan dan waktu yang tercurah untuk Agama perlu mendapat apresiasi dengan memberikan zakat. Hal ini sesuai dengan ketentuan Al Quran. Fisabilillah juga termasuk golongan orang yang berhak menerima zakat.

Seorang musafir bisa saja kehabisan perbekalan. Oleh karena itu mereka termasuk golongan orang yang berhak menerima zakat. Dengan demikian kebutuhannya selama dalam perjalanan terpenuhi.

Yaitu orang yang mengurus penerimaan dan pembagian zakat. Muslim yang membantu mengurusnya termasuk golongan orang yang berhak menerima zakat. Biasanya masjid atau mushola akan membentuk panitia penerima dan penyalur zakat sebelum memasuki bulan Ramadhan.

Mudah Tunaikan Zakat dengan OCTO Mobile

CIMB Niaga merupakan salah satu bank yang melakukan inovasi untuk memberikan kemudahan bagi para nasabah, salah satunya dengan kehadiran layanan OCTO Mobile. Dalam OCTO Mobile terdapat layanan OCTO CLICKS yang memudahkan nasabah untuk melakukan berbagai transaksi online.

Saat ini untuk membayar zakat sangat mudah. kamu bisa menggunakan fasilitas OCTO CLICKS dari CIMB Niaga. Fitur yang simpel dan praktis memudahkan untuk proses pembayaran semua jenis zakat. Kemudahan fasilitas ini menjadikan kamu yang sibuk tetap dapat menunaikan kewajiban tepat waktu.

Sedangkan untuk yang ingin bertransaksi aman dan memenuhi syariat, bisa memilih Syariah Gold. Layanan ini juga mempunyai banyak manfaat dan keunggulan. Nasabah tidak harus membayar iuran tahunan.

Selain membayar zakat, kamu juga bisa menabung dan akan mendapatkan banyak keuntungan di OCTO Savers. Semua transaksi sangat cepat dan simpel, hanya membutuhkan waktu beberapa menit saja.

Sebaiknya Amil memperhatikan semua orang yang termasuk golongan orang yang berhak menerima zakat. Tujuannya adalah agar tidak ada yang terlewat menerima haknya. Dengan demikian masalah yang dihadapi dapat sedikit terbantu. Untuk kemudahan membayar zakat bisa klik di sini.

Pelajari apa tujuan zakat fitrah, manfaat, ketentuan, dan tata cara pelaksanaannya bagi umat Islam. Pahami makna mendalam di balik ibadah wajib ini.

Pelajari tujuan zakat sebagai ibadah sosial dalam Islam. Temukan makna, manfaat, dan hikmah menunaikan zakat bagi pemberi dan penerima.

Fakir Miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata pencarian tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan/atau keluarganya.

2. mempunyai sumber mata pencarian tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi

kehidupan dirinya dan/ atau keluarganya.

Indonesiabaik.id - Perintah membayar zakat diwajibkan kepada setiap umat Islam yang mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari secara layak. Bagi muslim yang tidak mampu mencukupi biaya hidup, mereka tidak wajib membayar zakat, sebaliknya, mereka malah harus diberikan zakat.

Siapa saja orang-orang yang berhak menerima zakat?

Siapa Orang yang Paling Berhak Menerima Zakat Di Antara Kedelapan Golongan Tersebut?

Ibnu Katsir dalam Tafsirnya menyebut ada dua pendapat mengenai ini. Pertama, Imam Syafi'i berpandangan kalau zakat harus dibagikan ke seluruh 8 kelompok tersebut.

Kedua, Imam Malik, Umar Hudzaifah, Ibnu Abbas, Abul Aliyah, Sa'id bin Jubair, dan Maimun bin Mihran menyatakan kalau harta zakat tidak harus didistribusikan ke semua 8 golongan. Sehingga zakat boleh didistribusikan kepada satu kelompok saja. Seperti mendahulukan memberi zakat kepada fakir dan miskin.

Ibnu Jarir berkata bahwa pandangan kedua adalah pendapat sebagian besar ulama.

Pejuang fi Sabilillah

Yang termasuk golongan ini adalah orang-orang yang berjuang di jalan Allah SWT untuk membela ajaran-Nya tapi mereka tidak menerima upah dari negara, departemen, atau lembaga terkait.

Kelompok pejuang fi sabilillah ini berhak menerima harta zakat, bahkan walau tergolong kaya sekalipun. Ini ditujukan sebagai dorongan bagi mereka untuk tetap semangat berjuang.

Ibnu sabil merupakan musafir atau orang dalam perjalanan ke suatu negeri yang tidak bermaksud maksiat pada perjalanannya itu. Apabila ibnu sabil tidak memiliki cukup ongkos untuk berangkat maupun pulang kembali ke negerinya, maka ia boleh diberi bagian dari harta zakat.