Raja-Raja Dari Kerajaan Hindu Buddha Di Indonesia

Raja-Raja Dari Kerajaan Hindu Buddha Di Indonesia

Kerajaan Kutai Martapura

Menurut kajian yang dilakukan oleh Muhammad Sarip (2021) dalam bukunya berjudul Kerajaan Martapura dalam Literasi Sejarah Kutai 400–1635, kerajaan Hindu tertua di Nusantara adalah Martapura (bukan Martadipura) di Kecamatan Muara Kaman, bukan Kutai Kertanegara (berdiri abad ke-14). Hal itu didasarkan dari Prasasti Yupa atau monumen batu bertulis yang ditemukan dua tahap, yaitu tahun 1879 dan 1940.

Yupa berjumlah tujuh buah itu mayoritas menceritakan kemakmuran periode Mulawarman. Kini, ketujuh batu Yupa tersebut berada di Museum Nasional. Adapun kitab klasik berjudul Surat Salasilah Raja dalam Negeri Kutai Kertanegara setebal 132 halaman dari tahun 1849 adalah sumber autentik untuk penulisan sejarah Kerajaan Kutai Kertanegara.

Kitab tersebut ditulis oleh Khatib Muhammad Thahir, seorang Banjar yang menjadi juru tulis Kerajaan Kutai Kertanegara. Kitab ini beraksara Jawi (teksnya menggunakan huruf Arab, sedangkan bahasanya Melayu). Kitab ini dapat menjadi sumber sejarah dengan menyisihkan bagian dongengnya, meskipun tergolong susastra yang bercampur dengan mitologi pengagungan. Naskah asli kitab itu saat ini disimpan di Perpustakaan Negeri Berlin, Jerman.

Temuan tujuh buah Yupa menjadi awal pengungkapan kerajaan tertua Nusantara. Berdasarkan penjelasan dari Sarip, ada tiga nama tersohor di Kerajaan Kutai Martapura yang disebut di dalam Yupa. Pertama, Kundungga (bukan Kudungga) yang oleh kaum brahmana Hindu masa itu ditulis sebagai ayah pendiri kerajaan, bukan raja pertama.

Kedua, Aswawarman putra Kundungga, raja pertama Martapura. Ketiga, Mulawarman putra Aswawarman, raja termasyhur yang membawa kejayaan Martapura hingga bisa berderma sapi sebanyak 20.000 ekor untuk kaum brahmana. Tidak ada catatan lebih lanjut sosok yang menjadi penerus Mulawarman.

Namun, Muhammad Fahmi (2016) melalui penelitiannya yang berjudul Kerajaan Kutai Kartanegara ing Martadipura dan Peran Raja dalam Pengembangan Agama Islam di Kerajaan Kutai Abad ke-17 dan 18 menyebutkan penguasa Kerajaan Kutai Martapura antara lain:

Selanjutnya, Salasilah Kutai lantas mengungkap proses runtuhnya Kerajaan Martapura dengan raja terakhirnya, Dermasatia. Sarip membahas di subbab tersendiri mengenai ekspansi yang dilakukan oleh Kutai Kertanegara tahun 1635 ketika diperintah raja ke-8, Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa.

Ringkasnya, terjadi perang selama tujuh hari tujuh malam sampai dua raja berhadapan saling tikam, yang berujung kematian Dermasatia. Kekalahan Martapura ini menandai keruntuhannya, sekaligus pencaplokan wilayah oleh Kutai Kertanegara. Sejak itu, kerajaan pemenang melengkapi namanya menjadi Kutai Kertanegara ing Martapura.

Era Kerajaan Kutai sebenarnya berakhir tahun 1960, tetapi sejak 2001 dihidupkan lagi sebagai bentuk pelestarian sejarah dan budaya, tanpa adanya wewenang memerintah. Agak berbeda dari sebelumnya, kerajaan itu bernama Kutai Kartanegara ing Martadipura. Kartanegara dengan “a” bukan “e”, Martadipura bukan Martapura.

Soal ini, Sarip tidak luput mengulasnya. Perihal Kartanegara, baginya tidak begitu fatal karena “Kartanegara” dan “Kertanegara” mempunyai arti yang tetap sama. Namun lain halnya dengan Martadipura, yang tidak bisa dibenarkan karena mengubah nama dengan menyisipkan suku kata yang tidak perlu.

Nama Martadipura sebagai perubahan dari kata Martapura baru muncul pada 1980-an. Bupati Kutai periode 1965–1979, Ahmad Dahlan mengungkapkan, idenya berasal dari Drs. Anwar Soetoen, seorang pejabat Pemerintah Daerah Kabupaten Tingkat II Kutai.

Soetoen berpikiran bahwa antara kata “marta” dan “pura” perlu disisipkan kata depan “di” sebagai pengganti “ing”. Menurutnya, kata depan “di” memiliki arti yang sama dengan kata “ing” dalam bahasa Jawa Kawi. Dahlan mengungkap kasus ini dalam bukunya tentang Salasilah Kutai yang terbit tahun 1981.

Sarip di dalam bukunya turut membahas kekeliruan nama Kundungga menjadi Kudungga, yang terlanjur mengakar selama beberapa tahun terakhir. Tak kalah penting, hasil kerja Sarip memunculkan pertanyaan mengenai penamaan museum di Tenggarong yang dinamai Mulawarman, bukan Aji Batara Agung Dewa Sakti sebagai pendiri Kutai Kertanegera, padahal museum ini merupakan bekas istana Kutai Kertanegara, bukan saksi sejarah Kutai Martapura.

Belum lagi ditambah patung Lembu Suwana yang menyambut para pengunjung museum juga berpotensi memunculkan anggapan kalau hewan itu tunggangan Raja Mulawaman. Lembu Suwana sebenarnya adalah hewan mitologis tunggangan Aji Batara Agung Dewa Sakti.

Kerajaan Sriwijaya

Candi Muara Takus dianggap telah ada pada zaman keemasan Sriwijaya, sehingga beberapa sejarawan menganggapnya sebagai salah satu peninggalan dari Kerajaan Sriwijaya.

Sriwijaya merupakan sebuah kerajaan maritim yang berada di Sumatra, tetapi kekuasaannya mencapai Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja dan lainnya. Sriwijaya berasal dari bahasa Sanskerta, sri yang berarti “bercahaya” dan vijaya yang berarti “kemenangan”.

Kerajaan Sriwijaya mula-mula berdiri sekitar tahun 600 dan bertahan hingga tahun 1377. Kerajaan Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan yang sempat terlupakan, yang kemudian dikenalkan kembali oleh sarjana Prancis, bernama George Cœdès pada tahun 1920-an.

George Cœdès memperkenalkan kembali Sriwijaya berdasarkan penemuannya dari prasasti dan berita dari Tiongkok. Penemuan George Coedes kemudian dimuat dalam koran berbahasa Belanda dan Indonesia. Sejak saat itu, Kerajaan Sriwijaya mulai dikenal kembali oleh masyarakat.

Hilangnya kabar mengenai keberadaan Sriwijaya diakibatkan oleh sedikitnya jumlah peninggalan yang ditinggalkan oleh Kerajaan Sriwijaya sebelum runtuh. Beberapa penyebab runtuhnya Kerajaan Sriwijaya antara lain:

Perkembangan agama Buddha selama masa Sriwijaya dapat diketahui berdasarkan laporan I-Tsing. Sebelum melakukan studi ke Universitas Nalanda di India, I-Tsing melakukan kunjungan ke Sriwijaya. Berdasarkan catatan I-tsing, Sriwijaya merupakan rumah bagi sarjana Buddha dan menjadi pusat pembelajaran agama Buddha.

Hal itu membuktikan bahwa selama masa Kerajaan Sriwijaya, agama Buddha berkembang sangat pesat. Selain itu, I-tsing juga melaporkan bahwa di Sriwijaya terdapat aliran Buddha Theravada (kadang disebut Hinayana) dan Mahayana. Buddhisme di Sriwijaya selanjutnya mendapat pengaruh dari aliran Vajrayana dari India.

Pesatnya perkembangan agama Buddha di Sriwijaya juga didukung oleh seorang Mahaguru Buddhis di Sriwijaya, yaitu Sakyakirti. Nama Sakyakirti ini berasal dari I-tsing yang berkenalan saat singgah di Sriwijaya. Selain Mahaguru Buddhis, I-tsing juga melaporkan ada perguruan Buddha yang memiliki hubungan baik dengan Universitas Nalanda, India, sehingga ada cukup banyak orang yang mempelajari Buddhisme di kerajaan ini. Dalam catatannya, I-tsing juga menulis ada lebih dari 1.000 pendeta yang belajar Buddhisme di Sriwijaya.

Masa-masa awal Kerajaan Kadiri atau Panjalu tidak banyak diketahui. Prasasti Turun Hyang II (1044) yang dikeluarkan oleh Kerajaan Janggala hanya memberitakan adanya perang saudara antara kedua putra Airlangga.

Pada akhir November 1042, Airlangga terpaksa membelah wilayah kerajaannya karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Putra yang bernama Sri Samarawijaya mendapatkan kerajaan barat bernama Panjalu dan pusatnya di kota baru, yaitu Daha. Adapun putranya yang bernama Mapanji Garasakan mendapatkan kerajaan timur bernama Janggala dan pusatnya di kota lama, yaitu Kahuripan.

Menurut Nagarakretagama, sebelum dibelah menjadi dua, kerajaan yang dipimpin Airlangga sudah bernama Panjalu dan pusatnya di Daha. Jadi, Kerajaan Janggala lahir sebagai pecahan dari Panjalu. Adapun Kahuripan adalah nama kota lama yang sudah ditinggalkan Airlangga dan kemudian menjadi ibu kota Janggala.

Pada mulanya, nama Panjalu atau Pangjalu memang lebih sering dipakai daripada nama Kadiri. Hal ini dapat dijumpai dalam prasasti-prasasti yang diterbitkan oleh raja-raja Kadiri. Nama Panjalu juga dikenal sebagai Pu-chia-lung dalam kronik Tiongkok berjudul Ling wai tai ta (1178). Nama “Kediri” atau “Kadiri” sendiri berasal dari kata bahasa Sansekerta, khadri, yang berarti pacé atau Morinda citrifolia (mengkudu).

Ilustrasi foto Sri Jayabhaya.

Ketika diperintah oleh Sri Jayabhaya, Panjalu mengalami masa kejayaannya. Wilayah kerajaan ini meliputi seluruh Jawa dan beberapa pulau di Nusantara, bahkan sampai mengalahkan pengaruh Kerajaan Sriwijaya.

Jayabhaya juga dipercaya menulis ramalan dalam tradisi Jawa yang dikenal dengan Jangka Jayabaya atau Ramalan Jayabaya. Ramalan ini dikenal di kalangan masyarakat Jawa dan dilestarikan secara turun-temurun oleh para pujangga.

Asal usul utama Serat Ramalan Jayabaya dapat dilihat di Kitab Musasar yang digubah oleh Sunan Giri Prapen. Sekalipun banyak keraguan keasliannya, tetapi bait pertama kitab tersebut yang menuliskan bahwa Jayabaya yang membuat ramalan-ramalan tersebut.

Kitab Sang Hyang Kamahayanikan Mantranaya

Kitab Sang Hyang Kamahayanikan Mantranaya ditulis oleh Mpu Shri Sambhara Surya Warama.

Kakawin Ramayana menurut tradisi Bali dikarang oleh Yogiswara bersumber pada Rawanawadha atau Bhattikavya.

Kakawin ini diketahui merupakan peninggalan dari Kerajaan Mataram Kuno.

Baca Juga: 19 Daftar Nama Kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia, dari Kutai hingga Majapahit

Petunjuk: cek di halaman 1!

Lihat juga video ini, yuk!

Ingin tahu lebih banyak tentang pengetahuan seru lainnya, dongeng fantasi, cerita bergambar, cerita misteri, dan cerita lainnya? Teman-teman bisa berlangganan Majalah Bobo.

Untuk berlangganan, teman-teman bisa mengunjungi Gridstore.id.

Ikuti juga keseruan rangkaian acara ulang tahun Majalah Bobo yang ke-50 di majalah, website, dan media sosial Majalah Bobo, ya! #50TahunMajalahBobo2023

Artikel ini merupakan bagian dari Parapuan

Parapuan adalah ruang aktualisasi diri perempuan untuk mencapai mimpinya.

AIA Healthiest Schools Dukung Sekolah Jadi Lebih Sehat Melalui Media Pembelajaran dan Kompetisi

Kerajaan Singhasari

Candi Singhasari dibangun sebagai tempat pemuliaan Kertanegara, raja terakhir Kerajaan Singhasari.

Berdasarkan Prasasti Kudadu, nama resmi Kerajaan Singhasari adalah Kerajaan Tumapel. Menurut Nagarakretagama, ibu kota Kerajaan Tumapel bernama Kutaraja ketika pertama kali didirikan tahun 1222.

Pada 1253, Raja Wisnuwardhana awalnya mengangkat putranya yang bernama Kertanagara sebagai yuwaraja (putra mahkota) dan mengganti nama ibu kota kerajaan menjadi Singhasari. Nama Singhasari yang merupakan nama ibu kota kemudian justru lebih terkenal daripada nama Tumapel.

Inilah yang membuat Kerajaan Tumapel pun terkenal pula dengan nama Kerajaan Singhasari. Nama Tumapel juga muncul dalam kronik Tiongkok dari Dinasti Yuan dengan ejaan Tu-ma-pan.

Berdasarkan keterangan di Pararaton, Tumapel awalnya hanya sebuah daerah bawahan Kerajaan Panjalu. Adapun yang menjabat sebagai akuwu (setara camat) Tumapel saat itu adalah Tunggul Ametung. Dia mati dibunuh dengan cara tipu muslihat oleh pengawalnya sendiri yang bernama Ken Arok, yang kemudian menjadi akuwu baru. Ken Arok juga yang mengawini istri Tunggul Ametung yang bernama Ken Dedes. Ken Arok kemudian berniat melepaskan Tumapel dari kekuasaan Kerajaan Kadiri.

Pada 1254, terjadi perseteruan antara Kertajaya, raja Kerajaan Kadiri, dengan kaum brahmana. Para brahmana lalu menggabungkan diri dengan Ken Arok yang mengangkat dirinya menjadi raja pertama Tumapel dengan gelar Sri Rajasa Sang Amurwabhumi. Perang melawan Kerajaan Kadiri meletus di Desa Ganter yang dimenangkan oleh pihak Tumapel.

Nagarakretagama juga menyebut tahun yang sama untuk pendirian Kerajaan Tumapel, tetapi tidak menyebutkan adanya nama Ken Arok. Dalam naskah itu, pendiri kerajaan Tumapel bernama Ranggah Rajasa Sang Girinathaputra yang berhasil mengalahkan Kertajaya raja Kerajaan Kadiri.

Prasasti Mula Malurung atas nama Kertanagara tahun 1255 kemudian menyebutkan jika pendiri Kerajaan Tumapel adalah Bhatara Siwa. Nama ini kemungkinan adalah gelar anumerta dari Ranggah Rajasa, karena dalam Nagarakretagama arwah pendiri Kerajaan Tumapel tersebut dipuja sebagai Siwa.

Selain itu, Pararaton juga menyebutkan bahwa, Ken Arok lebih dulu menggunakan julukan Bhatara Siwa sebelum maju dalam perang melawan Kerajaan Kadiri.

Kerajaan Tarumanagara

Tarumanagara atau Kerajaan Taruma merupakan sebuah kerajaan yang pernah berkuasa di wilayah barat pulau Jawa pada abad ke-5 hingga abad ke-7 M. Tarumanagara merupakan salah satu kerajaan tertua di Nusantara yang meninggalkan catatan sejarah dan peninggalan artefak di sekitar lokasi kerajaan. Peninggalan-peninggalan itu memperlihatkan jika Tarumanagara merupakan kerajaan Hindu aliran Waisnawa.

Kata tarumanagara berasal dari kata taruma dan nagara. Nagara artinya kerajaan atau negara, sedangkan taruma berasal dari kata “tarum” yang merupakan nama sungai yang membelah Jawa Barat, yaitu Ci Tarum. Temuan arkeologis yang berada di muara Ci Tarum adalah percandian yang luas, yaitu Percandian Batujaya dan Percandian Cibuaya, yang diduga merupakan peradaban peninggalan Kerajaan Tarumanagara.

http://cagarbudaya.kemdikbud.go.id/

Salah satu prasasti yang dijadikan sebagai sumber sejarah keberadaan Kerajaan Tarumanagara adalah Prasasti Ciaruteun. Lokasi prasasti tersebut berada di Desa Ciaruteun, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor.

Prasasti ini ditemukan di aliran Sungai Ciaruteun, Bogor pada 1863 dan terbagi menjadi dua bagian, yaitu Prasasti Ciaruteun A yang tertulis dengan aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta terdiri atas empat baris puisi India atau irama anustubh (irama yang ditemukan dalam puisi Veda dan Sanskerta klasik), serta Prasasti Ciaruteun B yang berisikan goresan telapak kaki dan motif laba-laba yang belum diketahui maknanya.

Menurut juru kunci Prasasti Ciaruteun, simbol yang terdapat di prasasti tersebut menandakan Raja Purnawarman yang gagah perkasa dan berkuasa. Prasasti ini memiliki ukuran panjang 2 meter, tinggi 1,5 meter, dan berbobot 8 ton.

Alih aksara dari prasasti ini sebaagai berikut.

Baris pertama: vikkrantasya vanipateh

Baris kedua: srimatah purnnavarmmanah

Baris ketiga: tarumanagarendrasya

Baris keempat: visnor=iva padadvayam ||

Artinya adalah sebagai berikut.

“Inilah sepasang (telapak) kaki, yang seperti (telapak kaki) Dewa Wisnu, ialah telapak kaki Yang Mulia Purnnawarman, raja di negara Taruma (Tarumanagara), raja yang gagah berani di dunia”.

Berdasarkan pesan yang terdapat di Prasasti Ciaruteun, dapat diketahui bahwa prasasti ini dibuat pada abad ke-5 dan menginformasikan bahwa saat itu terdapat Kerajaan Tarumanagara, yang dipimpin oleh Raja Purnawarman yang memuja Dewa Wisnu.

Kerajaan Tarumanagara telah dipengaruhi oleh kebudayaan India, yang dibuktikan dengan nama raja yang berakhiran -warman dan tapak kaki yang menandakan kuasa pada zamannya. Pada 1863, prasasti ini sempat hanyut diterjang banjir, sehingga tulisan yang ada menjadi terbalik, kemudian pada 1903 prasasti ini dikembalikan ke tempat semula. Barulah pada 1981, prasasti ini dilindungi.

Sumber berita lain yang membuktikan berdirinya Kerajaan Tarumanagara berasal dari berita Tiongkok, berupa catatan perjalanan Fa-Hien (penjelajah dari Tiongkok) dalam bentuk buku dengan judul Fa-Kuo-Chi, yang menyebutkan bahwa pada awal abad ke-5 M banyak orang brahmana dan animisme di Ye-Po-Ti (sebutan untuk Javadwipa, tetapi ada pendapat lain yang menyatakan jika Ye-Po-Ti adalah Way Seputih di Lampung).

Pada 414, Fa-Hien datang ke tanah Jawa untuk membuat catatan sejarah Kerajaan To-lo-mo (Kerajaan Tarumanagara) dan singgah di Ye-Po-Ti selama 5 bulan. Selain itu, berita Dinasti Sui menuliskan bahwa utusan To-lo-mo telah datang dari sebelah selatan pada 528 dan 535.

Berita Dinasti Tang selanjutnya menuliskan bahwa utusan To-lo-mo telah datang pada 666 dan 669. Berdasarkan berita-berita tersebut, dapat diketahui bahwa Kerajaan Tarumanagara berkembang antara tahun 400–600, yang saat itu dipimpin oleh Purnawarman dengan wilayah kekuasaan hampir seluruh Jawa Barat.

Adapun raja-raja yang pernah memerintah Kerajaan Tarumanagara antara lain:

Catatan awal Kerajaan Medang ada dalam prasasti Canggal (732), yang ditemukan di dalam kompleks Candi Gunung Wukir di Dusun Canggal, barat daya Kabupaten Magelang. Prasasti ini ditulis dalam bahasa Sanskerta dan menggunakan aksara Pallawa. Isinya menceritakan tentang pendirian Siwalingga (lambang Siwa) di daerah Kuñjarakuñjadeça (Kunjarakunja), yang terletak di pulau bernama Yawadwipa (Jawa) yang diberkahi dengan banyak beras dan emas.

Pembentukan lingga berada di bawah perintah Sanjaya. Prasasti ini menceritakan bahwa di Yawadwipa dahulu diperintah oleh raja Sanna, yang bijaksana, adil dalam tindakannya, perwira dalam peperangan, bermurah hati kepada rakyatnya. Setelah mangkatnya Sanna negara berkabung, jatuh dalam perpecahan. Pengganti Sanna adalah putra Sannaha (saudara perempuannya) yang bernama Sanjaya. Sanjaya menaklukkan daerah-daerah di sekitar kerajaannya dan pemerintahannya yang bijak memberkati tanahnya dengan kedamaian dan kemakmuran bagi semua rakyatnya.

Kisah Sanna, Sannaha, dan Sanjaya juga dijelaskan dalam Carita Parahyangan, sebuah naskah yang disusun sekitar akhir abad ke-16. Secara garis besar, kisah dari naskah Carita Parahyangan memiliki kesamaan tokoh dengan Prasasti Canggal.

Meskipun manuskrip itu tampaknya didramatisasi dan tidak memberikan perincian tertentu tentang periode tersebut, tetapi nama dan tema cerita yang hampir persis dengan Prasasti Canggal tampaknya menegaskan bahwa manuskrip tersebut didasarkan atas peristiwa sejarah.

Periode pemerintahan Rakai Panangkaran ke Dyah Balitung (rentang antara 760–910) yang berlangsung selama 150 tahun, menjadi penanda puncak kejayaan dari peradaban Jawa kuno. Pada periode ini marak munculnya seni dan arsitektur Jawa kuno, seperti sejumlah candi dan monumen megah didirikan membentang cakrawala dataran Kedu dan dataran Kewu. Candi yang paling terkenal adalah Candi Sewu dan Prambanan.

Kitab Panjiwijayakrama

Kitab Panjiwijayakrama menceritakan riwayat Raden Wijaya saat menjadi Raja Kerajaan Majapahit.

Kitab Usana Jawa berisi tentang kisah penaklukkan Bali oleh Gajah Mada dan Aryadamar.

Kitab Ranggalawe mengisahkan tentang seorang pengikut Raden Wijaya yang berjasa besar dalam perjuangan mendirikan Kerajaan Majapahit, yaitu Ranggalawe.

Kitab Sorandakan mengisahkan tentang pemberotakan Lembu Sora, salah satu sahabat Raden Wijaya dari Kerajaan Majapahit.

Kitab Sundayana menceritakan Perang Bubat antara Kerajaan Majapahit dengan Kerajaan Sunda.

Daftar Kerajaan Hindu-Buddha Tersohor di Indonesia

Kerajaan Kutai Martapura

Menurut kajian yang dilakukan oleh Muhammad Sarip (2021) dalam bukunya berjudul Kerajaan Martapura dalam Literasi Sejarah Kutai 400–1635, kerajaan Hindu tertua di Nusantara adalah Martapura (bukan Martadipura) di Kecamatan Muara Kaman, bukan Kutai Kertanegara (berdiri abad ke-14). Hal itu didasarkan dari Prasasti Yupa atau monumen batu bertulis yang ditemukan dua tahap, yaitu tahun 1879 dan 1940.

Yupa berjumlah tujuh buah itu mayoritas menceritakan kemakmuran periode Mulawarman. Kini, ketujuh batu Yupa tersebut berada di Museum Nasional. Adapun kitab klasik berjudul Surat Salasilah Raja dalam Negeri Kutai Kertanegara setebal 132 halaman dari tahun 1849 adalah sumber autentik untuk penulisan sejarah Kerajaan Kutai Kertanegara.

Kitab tersebut ditulis oleh Khatib Muhammad Thahir, seorang Banjar yang menjadi juru tulis Kerajaan Kutai Kertanegara. Kitab ini beraksara Jawi (teksnya menggunakan huruf Arab, sedangkan bahasanya Melayu). Kitab ini dapat menjadi sumber sejarah dengan menyisihkan bagian dongengnya, meskipun tergolong susastra yang bercampur dengan mitologi pengagungan. Naskah asli kitab itu saat ini disimpan di Perpustakaan Negeri Berlin, Jerman.

Temuan tujuh buah Yupa menjadi awal pengungkapan kerajaan tertua Nusantara. Berdasarkan penjelasan dari Sarip, ada tiga nama tersohor di Kerajaan Kutai Martapura yang disebut di dalam Yupa. Pertama, Kundungga (bukan Kudungga) yang oleh kaum brahmana Hindu masa itu ditulis sebagai ayah pendiri kerajaan, bukan raja pertama.

Kedua, Aswawarman putra Kundungga, raja pertama Martapura. Ketiga, Mulawarman putra Aswawarman, raja termasyhur yang membawa kejayaan Martapura hingga bisa berderma sapi sebanyak 20.000 ekor untuk kaum brahmana. Tidak ada catatan lebih lanjut sosok yang menjadi penerus Mulawarman.

Namun, Muhammad Fahmi (2016) melalui penelitiannya yang berjudul Kerajaan Kutai Kartanegara ing Martadipura dan Peran Raja dalam Pengembangan Agama Islam di Kerajaan Kutai Abad ke-17 dan 18 menyebutkan penguasa Kerajaan Kutai Martapura antara lain:

Selanjutnya, Salasilah Kutai lantas mengungkap proses runtuhnya Kerajaan Martapura dengan raja terakhirnya, Dermasatia. Sarip membahas di subbab tersendiri mengenai ekspansi yang dilakukan oleh Kutai Kertanegara tahun 1635 ketika diperintah raja ke-8, Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa.

Ringkasnya, terjadi perang selama tujuh hari tujuh malam sampai dua raja berhadapan saling tikam, yang berujung kematian Dermasatia. Kekalahan Martapura ini menandai keruntuhannya, sekaligus pencaplokan wilayah oleh Kutai Kertanegara. Sejak itu, kerajaan pemenang melengkapi namanya menjadi Kutai Kertanegara ing Martapura.

Era Kerajaan Kutai sebenarnya berakhir tahun 1960, tetapi sejak 2001 dihidupkan lagi sebagai bentuk pelestarian sejarah dan budaya, tanpa adanya wewenang memerintah. Agak berbeda dari sebelumnya, kerajaan itu bernama Kutai Kartanegara ing Martadipura. Kartanegara dengan “a” bukan “e”, Martadipura bukan Martapura.

Soal ini, Sarip tidak luput mengulasnya. Perihal Kartanegara, baginya tidak begitu fatal karena “Kartanegara” dan “Kertanegara” mempunyai arti yang tetap sama. Namun lain halnya dengan Martadipura, yang tidak bisa dibenarkan karena mengubah nama dengan menyisipkan suku kata yang tidak perlu.

Nama Martadipura sebagai perubahan dari kata Martapura baru muncul pada 1980-an. Bupati Kutai periode 1965–1979, Ahmad Dahlan mengungkapkan, idenya berasal dari Drs. Anwar Soetoen, seorang pejabat Pemerintah Daerah Kabupaten Tingkat II Kutai.

Soetoen berpikiran bahwa antara kata “marta” dan “pura” perlu disisipkan kata depan “di” sebagai pengganti “ing”. Menurutnya, kata depan “di” memiliki arti yang sama dengan kata “ing” dalam bahasa Jawa Kawi. Dahlan mengungkap kasus ini dalam bukunya tentang Salasilah Kutai yang terbit tahun 1981.

Sarip di dalam bukunya turut membahas kekeliruan nama Kundungga menjadi Kudungga, yang terlanjur mengakar selama beberapa tahun terakhir. Tak kalah penting, hasil kerja Sarip memunculkan pertanyaan mengenai penamaan museum di Tenggarong yang dinamai Mulawarman, bukan Aji Batara Agung Dewa Sakti sebagai pendiri Kutai Kertanegera, padahal museum ini merupakan bekas istana Kutai Kertanegara, bukan saksi sejarah Kutai Martapura.

Belum lagi ditambah patung Lembu Suwana yang menyambut para pengunjung museum juga berpotensi memunculkan anggapan kalau hewan itu tunggangan Raja Mulawaman. Lembu Suwana sebenarnya adalah hewan mitologis tunggangan Aji Batara Agung Dewa Sakti.

Kitab Arjunawiwaha

Kitab Arjunawiwaha ditulis oleh Mpu Kanwa, dan merupakan kakawin pertama dari Jawa Timur.

Kitab ini disebut sebagai satu-satunya karya sastra dari masa pemerintahan Prabu Airlangga, pendiri Kerajan Kahuripan.

Contoh Peninggalan Kesusastraan Kerajaan Hindu-Buddha